Cerita Dewasa - Kenangan Indah Bersama Istri Orang
Kejadian ini berlangsung sekitar lima bulan yang lalu. Yang kuingat, hubungan antara Eriana dan Yudi saat itu sudah membaik. Mereka bahkan merencanakan pertunangan dan tak lama lagi akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Kala itu, mereka tinggal di sebuah rumah kost yang sama di kawasan Jakarta Selatan, meski kamarnya terpisah. Yudi sedang menjalani pelatihan di Jakarta selama enam bulan. Sebagai mantan teman sekaligus atasan Eriana, aku memang sudah mengenal Yudi sebelumnya. Ternyata, Yudi adalah sosok yang sangat cemburu. Harus kuakui, Eriana memang cantik bahkan terlalu cantik untuk bersama dengan Yudi. Tapi bagiku, bukan hal yang aneh jika seorang pria dengan penampilan biasa saja bisa memiliki pasangan yang rupawan.
Aku menyebut Eriana cantik bukan sekadar pendapat subjektifku. Banyak teman lain yang juga setuju dengan itu. Beberapa di antaranya bahkan menganggap Eriana memiliki daya tarik sensual yang luar biasa. Bagi kaum pria, hanya dengan menatap matanya, pikiran bisa langsung melayang ke berbagai fantasi. Percaya atau tidak, mata Eriana begitu sayu, seolah penuh kepasrahan, ditambah dengan bibirnya yang seksi yang sering digigit kecil-kecil saat ia sedang gemas. Sungguh, ia adalah ciptaan Tuhan yang begitu eksotis dan memikat. Minggu sebelumnya, saat bertemu Yudi, kami tanpa sengaja menemukan peluang bisnis yang bisa dikerjakan bersama antara kantorku dan kantornya. Aku pun berpikir cepat dan memintanya untuk menyampaikan proposal dariku ke timnya di Magelang.
Siang itu, setelah selesai bertemu klien di kawasan kantor, aku berniat mampir ke rumah kost Yudi yang juga tempat tinggal Eriana untuk menitipkan proposal yang kujanjikan. Aku mengendarai mobil menuju lokasi. Sesampainya di sana, garasi tempat Yudi biasa memarkir mobil tampak kosong, pertanda ia sedang tidak ada. Meski begitu, aku tetap ingin melanjutkan niatku. Setelah memarkir mobil di halaman depan, aku masuk ke ruang tamu yang pintunya kebetulan terbuka, lalu langsung menuju kamar Yudi. Rumah kost itu memiliki empat kamar, kamar Yudi berada di pojok, berhadapan dengan kamar Eriana.
Suasana rumah tampak sepi, seolah tak ada tanda kehidupan. Aku berniat meninggalkan pesan di pintu kamar Yudi karena aku sangat membutuhkannya. Saat sedang menulis, aku mendengar suara televisi samar-samar dari kamar Eriana, yang berada tepat di depan kamar Yudi. Itu pertanda ada seseorang di dalam. Aku menduga itu Eriana, jadi aku mengetuk pintunya sambil memanggil namanya.
Tak lama kemudian, pintu terbuka sedikit sekitar selebar kepalan tangan dan wajah Eriana muncul dari celah itu. “Eh, Mas… cari Mas Yudi ya? Tadi pagi sih ditungguin, tapi Mas Yudi buru-buru berangkat, Mas,” katanya sebelum aku sempat bertanya. Entah kenapa, saat menatap mata sayunya, pikiranku melayang ke kenangan indah yang pernah kami lalui dulu. Sambil tersenyum, aku bertanya, “Kamu nggak ke kantor hari ini?” “Lagi kurang enak badan, Mas. Tadi Riana bangun kesiangan, jadi males banget ke kantor,” jawabnya singkat, sambil menggigit bibir bawahnya.
Aku merasa sedikit iba kenapa dia harus membolos kerja hari ini. “Terus, Yudi biasanya pulang jam berapa, Riana?” tanyaku basa-basi. “Seharusnya sih jam lima sore, tapi bisa lebih lama, soalnya hari ini dia ada tugas kelompok bareng temen-temen training,” jawabnya dengan nada agak kesal. Saat itu sekitar jam satu siang, berarti Yudi baru pulang empat atau lima jam lagi. Pikiranku mulai nakal. Aku mencari-cari topik agar obrolan kami bisa berlangsung lebih lama, supaya aku bisa lebih dekat dengan Eriana. Aku terdiam cukup lama, memandangi bibirnya yang merah dan tipis, begitu sensual dan menggoda. Semakin lama, fantasi liar makin menguasai pikiranku. Jantungku berdegup kencang saat itu.
Ada gelombang hangat yang mengalir di dadaku, dan aku yakin Eriana juga masih menyimpan getar rasa yang sama denganku. Setelah beberapa saat kami saling diam, aku bertanya, “Teman-teman sekosmu yang lain pada ke mana, Riana?” Mataku melirik sekeliling, pura-pura penasaran dengan keberadaan penghuni kost lain. “Mas ini mau nyari Mas Yudi atau…” Kalimatnya terputus, tapi senyum di wajahnya seolah menerjemahkan maksudnya. Aku memutuskan untuk bicara blak-blakan. “Aku juga pengen ketemu kamu, Riana!” kataku jujur. Dia tertawa pelan. “Mas, kenapa sih?” tanyanya lembut, memandangku dengan mata sayunya. “Boleh aku masuk, Riana? Ada sesuatu yang pengen kubahas sama kamu,” pintaku. “Sebentar ya, Mas, kamar Riana lagi berantakan nih!” Eriana menutup pintu di depanku. Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi, dan aku dipersilakan masuk.
Aku duduk di kasur yang digelar di lantai. Eriana masih sibuk merapikan pakaian yang berserakan di sandaran kursi. Aku memperhatikan tubuhnya dari belakang. Dia mengenakan kaos kuning ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang mulus, dipadukan dengan celana pendek yang menampakkan pinggul dan paha bulatnya. Kakiku terasa lemas, dan hasratku bangkit melihat keindahannya, apalagi dengan kenangan masa lalu saat aku pernah membelai tubuh itu. Lalu, Eriana duduk di sampingku, lututnya ditekuk hingga celananya tersingkap sedikit, memperlihatkan lebih banyak pahanya. Aku tak lagi malu-malu menatapnya, dan dia tampak tahu aku sedang menikmati pemandangan itu. Dia mencoba menarik celananya ke bawah untuk menutupi pahanya, lalu bertanya, “Mas, mau bicara apa sih?”
Otakku berputar cepat. Aku takut kehabisan bahan obrolan yang relevan dengannya, karena pikiranku saat itu hanya dipenuhi khayalan untuk bermesraan dengannya. “Mmm… Er, aku beberapa hari ini sering bermimpi,” kataku, berbohong. Entah dari mana kalimat itu muncul, tapi aku merasa sedikit tenang mengatakannya. “Mimpi apa, Mas?” tanyanya serius, matanya menatapku tajam. “Tentang kamu, San,” jawabku pelan. Alih-alih kaget, dia malah tertawa mendengar omonganku, sampai menutup mulut agar tawanya tak terlalu keras. “Emangnya mimpi apa sama aku, Mas?” tanyanya penasaran. “Ya… biasalah, kamu pasti tahu,” kataku sambil menunduk.
Tiba-tiba, dia memegang tanganku. Aku terkejut dan menoleh padanya. “Mas ini ada-ada aja. Mas ‘kan sekarang udah punya yang di rumah, aku juga udah punya pacar, masa masih mimpiin orang lain?” katanya. “Makanya aku bingung, Riana. Kalaupun bisa, aku nggak mau bermimpi tentang kamu,” ujarku, pura-pura memelas. Kami terdiam. Aku meremas jarinya perlahan, lalu mengangkat tangannya ke bibirku. Dia memperhatikanku saat aku mencium punggung tangannya dengan mesra. Aku menggeser posisiku agar lebih dekat dengannya. Mataku menatap wajahnya, dan pandangan kami bertemu. Wajahku perlahan mendekat, mencari tahu reaksinya. Semakin dekat, hingga akhirnya bibirku mendarat di pipinya yang mulus.
Kedua tanganku kini bergerak bebas di tubuhnya. Tangan kananku meraih dagunya, mengarahkannya agar berhadapan denganku. Seketika, bibirku menempel pada bibirnya. Eriana menggeliat pelan sambil memanggil namaku, “Mas… cukup, Mas!” Ia mencoba mendorong dadaku untuk menghentikanku. Aku menghentikan gerakanku, lalu pura-pura meminta maaf. “Maaf, Eriana… aku nggak tahan lagi kalau setiap malam cuma bisa memimpikanmu,” kataku sambil menunduk, seolah menyesal. “Aku ngerti, Mas. Aku nggak bisa nyalahin Mas soal mimpi-mimpimu itu. Lagian, kita memang pernah dekat,” ujar Eriana, sepertinya memaafkan dan memaklumi tingkahku tadi. Aku mengangkat wajahku. Ada rona ragu di wajahnya, tapi aku tak tahu penyebabnya. Pipinya masih memerah bekas ciumanku. “Aku juga pengen bantu Mas supaya nggak kepikiran aku lagi, tapi…” kalimatnya terhenti.
Dalam hati, aku tersenyum mendengar kata “ingin membantu” dari mulutnya. “Eriana, aku cuma pengen pergi berdua sama kamu, sekali aja… sebelum kamu jadi milik Yudi sepenuhnya. Biar aku bisa lupain kamu,” pintaku memohon. “Kita ‘kan sama-sama udah punya pasangan, Mas… kalau ketahuan gimana?” katanya. Nah, dari sini aku merasa ada peluang. Artinya, dia bersedia pergi denganku, asal tak ketahuan Yudi. “Kalau ketahuan, aku yang tanggung jawab, Eriana,” ujarku sambil memeluknya lagi. Kali ini, ia benar-benar pasrah dalam pelukanku, bahkan membalas pelukanku. Tanganku mengelus punggungnya dengan lembut, sementara bibirku tak diam, mencium pipinya lalu turun ke lehernya yang panjang. Eriana mendesah pelan.
Aku mencium kulitnya dengan penuh gairah. Bibirku kembali meraih bibirnya. Eriana diam saja. Aku melumat bibirnya, lalu lidahku perlahan menyelinap, menjelajahi rongga mulutnya. Napasnya tak teratur saat lidahku bermain dengan lidahnya. Kesempatan ini kugunakan untuk meraih payudaranya. Telapak tanganku bergerak dari punggungnya, melewati ketiak, hingga akhirnya mendarat di sisi payudaranya. Aku hampir tak bisa mengendalikan hasratku saat itu, apalagi aku sering membayangkan momen seperti ini bersamanya. Kini, tanganku sudah berada di atas gundukan lembut itu. Tidak terlalu besar, juga tak terlalu kecil justru ukuran seperti ini yang menurutku paling sempurna.
Saat aku mulai meremas payudaranya yang kanan, tangan Eriana mencoba menahanku. Payudaranya masih kencang, membuatku semakin bernafsu untuk terus meremasnya. “Mas, jangan sekarang… Eriana takut…” katanya berulang-ulang. Aku juga sadar tindakanku terlalu berani, apalagi pintu kamar masih setengah terbuka. Kalau ada yang melihat, bisa berabe. Akhirnya, aku berdiri dari kasur untuk memastikan keadaan di luar.
Aku tipe pria yang sering terburu-buru, terutama dalam urusan cinta. Kini, aku duduk di sofa menghadap Eriana, sementara ia masih di kasur, merapikan rambut dan kaos kuningnya yang sedikit kusut. “Mas, mau ajak Eriana ke mana sih?” tanyanya. “Pokoknya ke tempat yang nggak ada orang, biar kita tenang, Eriana,” jawabku sambil melirik payudaranya yang baru saja kuremas. Eriana duduk bersandar pada kedua tangannya, membuat payudaranya semakin menonjol. Aku memandangnya dengan nakal sambil tersenyum. Kakinya diluruskan hingga menyentuh kakiku. “Tapi kalau ketahuan, Mas yang tanggung jawab, ya…” pintanya, menunggu konfirmasiku. Aku mengangguk.
“Terus, kapan kita jalan, Mas?” tanyanya lagi. “Gimana kalau besok sore jam empat? Besok ‘kan Jumat, kamu bisa pulang lebih awal, ‘kan?” usulku. “Ketemu di mana?” ia penasaran. “Kamu telepon aku, kasih tahu posisimu saat itu, aku jemput di sana, gimana?” kataku. Dia tersenyum, “Wah, Mas pinter banget ngatur urusan gini.” Aku tertawa. “Tapi aku nggak mau kalau Mas nakalin aku kayak dulu lagi!” tegasnya. Aku mengiyakan pura-pura, padahal dalam hati aku yakin besok aku bisa menikmati kehangatan tubuhnya lagi. Aku sengaja pilih sore, siapa tahu ia mau kuajak menginap. Tapi aku diam saja. Yang penting, ia setuju pergi denganku. Sisanya tinggal improvisasi. Lagian, kalau cuma begini, aku rasa tak perlu sampai tanggung jawab, pikirku. Ah, lihat besok saja.
Pukul tiga sore, aku harus kembali ke kantor. Eriana juga memintaku segera pulang, takut Yudi tiba-tiba datang dan memergoki kami. Tapi sebelum pergi, aku masih sempat mencium bibirnya lagi di dekat pintu. Aku bahkan mendorong tubuhnya hingga punggungnya menempel di dinding, menekan tubuhku ke arahnya. Kejantanan yang sudah tegang sejak tadi kugesekkan ke selangkangannya. Sayang, itu tak berlangsung lama karena situasinya memang riskan. Sepanjang hari di kantor dan di rumah, aku gelisah. Pikiranku dipenuhi bayangan apa yang telah dan akan kulakukan dengan Eriana. Waktu terasa berjalan lambat menanti saat bertemu dengannya.
Aku mulai resah saat 15 menit berlalu tanpa kabar darinya. Hampir setengah jam aku menunggu, hingga akhirnya ponselku berdering. Aku mengangkatnya, dan suara Eriana yang kunanti terdengar di seberang. Ia minta maaf karena pekerjaan menumpuk akibat bolos kemarin sehingga tak bisa pulang cepat. Ia memintaku menjemputnya di sebuah warteg dekat pertigaan, tak jauh dari kantornya. Tanpa pikir panjang, aku mengambil kunci mobil, keluar dari kantor, dan meluncur ke tempat Eriana menungguku.
Aku memarkir mobil di depan wartel itu, dan tak lama melihat aku melihat Eriana keluar dari wartel, dengan memakai kaos ketat warna oranye Mickey Mouse (di bagian depan tokohnya, pakaian favorit jeans warna abu-abu. Blazer bekerja ia lepas, dan ditenteng bersama tugas kerjanya. Aku masih ingat, ia memang selalu tampil ke kantor dengan pakaian santai setiap hari. Eriana langsung naik ke atas mobilku, setelah tidak ada orang lain yang melihatnya di tempat itu. Aku tersenyum melihatnya. ini Bibirnya tidak dipoles dengan lipstik merah seperti biasanya. Ia hanya menyapukan lipgloss tipis, yang membuat jantungku semakin deg-degan. Aku segera menancap gas menuju tol ke arah Ancol. Selama perjalanan, aku dan Erianaa tentang berbagai hal, termasuk Yudi dan kehidupan keluargaku.
Sesampainya di Ancol aku mengajak Eriana untuk makan di sebuah rumah makan di tepi laut yang nuansa romantisnya sangat terasa. Tanpa canggung lagi aku memeluk pinggang Eriana, pada saat kami memasuki rumah makan tersebut. Eriana juga membantukan memanfaatkan di pinggangku. Setelah memesan makanan dan minuman, aku memeluknya lagi. Tanganku bergerilya di sekitar pinggangnya yang terbuka. Suasana lesehan di rumah makan itu, yang ruangannya disekat menjadi beberapa tempat dengan pembatas dinding bilik yang tinggi, membuat saya bisa bertindak dengan leluasa kepada Eriana. “Tadi malam mimpi lagi, nggak?”, tanyanya memecah keheningan. “Tidak, tapi aku sempat gelisah nggak bisa tidur karena terus membayangkanmu”, jawabku tanpa malu-malu.Eriana tertawa sambil memainkan mencubit pinggangku.
Hari sudah menjelang malam ketika kami meninggalkan tempat itu. Setelah berputar-putar di sekitar lokasi pantai, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar pada sebuah pondok di kawasan Ancol. Semula Eriana menolak, karena dia takut kalau kami tidak bisa menahan diri. Aku akhirnya berharap Eriana bahwa sebenarnya aku hanya ingin berdua saja dengannya, sambil memeluk tubuhnya, itu saja. Akhirnya Eriana mengalah. Ketika kami telah berada di kamar cottage itu, Eriana tampak jadi pendiam. Dia duduk di atas kursi memandang ke arah laut, sementara aku rebahan di atas tempat tidur. Saya mencoba mencairkan suasana, dengan bertanya-tanya mengenai kesibukan pekerjaan hari itu. Selama aku bertanya kepadanya, ia hanya menjawab singkat dengan kata-kata iya dan tidak. Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Ternyata, dengan mengingat statusnya saat ini sebagai tunangan Yudi, Eriana masih belum bisa menerimaku yang membawanya ke dalam pondok ini. Namun aku tidak menyesal karena dalam pikiranku sebenarnya sudah tahu apa yang akan terjadi, sejak kejadian kemarin siang di kamar. Tinggal bagaimana caranya aku bisa mengajaknya bercinta tanpa ada pemaksaan film. “Eriana, aku sudah bilang sejak kemarin kalau aku ingin berdua saja bercinta, sebelum Yudi benar-benar menikah dengan kamu. Aku hanya ingin memelukmu tanpa ada rasa takut, itu saja. Dan aku rasa di sinilah tempatnya”, jawabku mencoba memberikan pengertian kepadanya. “Tetapi, apa Mas sanggup untuk tidak melakukan yang lebih dari itu?”, Eriana melihat sorotan mata tajam.“Kalau kamu gimana?”, aku malah balik bertanya. “Aku tanya, kok malah balik nanya ke aku sih?”, ia bertanya dengan nada agak ketus. “Aku sanggup, Eriana”, tegasku. Akhirnya dia tersenyum juga. Eriana berjalan ke arahku menuju tempat tidur lalu duduk di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. “Janji ya, Mas..!”, ujarnya lagi. Aku mengangguk.
Kini aku memeluk tubuh indah Eriana dengan posisi menyamping, sedang Eriana rebah menghadap ke atas langit-langit kamar. Aku mencium pipinya, sambil jemariku membelai-belai bagian belakang telinganya. mata terpejam seolah menikmati kami. Aku menatap wajah yang manis, hidungnya yang mancung, lalu memandang. Aku tidak tahan untuk berlama-lama menunggu, sehingga akhirnya aku memberanikan diri untuk menciumnya. Aku melumat bibir tipis itu dengan mesra, lalu aku mulai menjulurkan lidahku ke dalam mulut. Mulutnya terbuka perlahan menerima lidahku. Cukup lama aku mempermainkan lidahku di mulutnya. Lidahnya begitu menanggapi permainan lidahku, sampai-sampai nafas kami berdua tidak tersengal-sengal tidak beraturan.Sesaat kemudian, ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai berpagutan lagi.
Aku mendekat, meremasi pangkal lengannya yang terbuka. Aku membuka telapak tangan, sehingga jempolku bisa menyentuh permukaan sambil menjaga lembut pangkal lengannya. Bibirku kini turun menyapu kulit putih di lehernya dengan tangan kita meraup bukit indah payudaranya. Eriana menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik mentari. Suara rintihan berulang kali keluar dari mulut, lidahku menjulur, menjilat, mengamati, menikmati batang lehernya yang jenjang. “Mas, jangan..!”, Eriana mencoba menarik tangan yang kini sedang meremas, menggelitik payudaranya. Aku tidak peduli lagi. Lagi pula dia juga menyatakan tidak sungguh-sungguh untuk melarangku. Hanya saja, yang seolah-olah membatasi, hanya sebatas berbagi tangan,
Suasana angin pantai yang dingin di luar sana, sangat kontras dengan keadaan di kamar tempat kami bergumul. Aku dan Eriana mulai merasa kegerahan. Aku akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang dada. “Eriana, Mas sangat ingin melihat payudaramu, yang..”, ujarku sambil mengusap bagian puncak puting payudaranya yang menonjol. Eriana kembali melihat tajam. Mestinya aku tidak perlu memohon kepadanya karena saat itupun aku sudah membelai dan meremas-remas payudaranya. Tetapi entah mengapa saya lebih suka jika Eriana yang membuka kaosnya sendiri untukku. “Tapi janji Mas yaa.., cuma yang ini aja”, katanya lagi.
Aku cuma mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang harus aku janjikan lagi. Eriana akhirnya membuka kaos ketat warna orange-nya di depan mataku. Aku terkagum-kagum ketika mengungkapkan dua gundukan daging di belakang, yang masih tertutup oleh sebuah bra berwarna hitam. Payudara itu begitu membusung, menantang. Bukit-bukit di dada Eriana naik turun seiring desah nafasnya yang mengejar. Sambil fenomena Eriana membuka pengait bra di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan Eriana ketika mencoba menurunkan tali bra-nya dari atas pundaknya. Tepat dengan keadaan bra-nya yang longgar karena tanpa pengait seperti itu, membuat payudaranya semakin menantang.
Payudaranya sangat putih kontras dengan warna bra-nya, sangat terawat dan kencang, seperti yang selalu aku bayang-bayangkan. “Payudaramu masih tetap bagus sekali. Eriana, kamu pintar merawat, yaa..”, aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya. “Pantes si Yudi jadi tergila-gila sama dia,”, pikirku. Lalu, perlahan-lahan aku menarik turun cup bra-nya. Mata Eriana terpejam. perhatianku terfokus pada puting susunya yang berwarna merah kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar, namun ujung-ujungnya begitu runcing dan kaku. Aku mengusapnya lalu aku memilin dengan jemariku. Eriana mendesah.
Mulutku ingin payudaranya. “Egkhh..”, rintih Eriana ketika mulutku melumat puting susunya. Aku mempermainkan dengan lidah dan gigiku. Sekali-sekali aku menggigit lembut putingnya, lalu aku hisap kuat-kuat sehingga membuat Eriana menarik, menjambak rambutku. Puas menikmati buah dada yang sebelah kiri, aku mencium buah dada Eriana yang satunya, yang belum sempat aku nikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan silih berganti keluar dari mulut Eriana. Sambil mencium payudara Eriana, tangan kita turun ke bawah perutnya yang datar, berhenti di hadapannya lalu perlahan turun mengitari lembah di Eriana.Akui pahanya terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk meraba bagian kewanitaannya yang masih tertutup oleh celana jeans ketat yang dikenakan Eriana.
Tiba-tiba, aku mengakhiri kegiatanku, lalu berdiri di samping samping ranjang. Eriana memandang memandangku, lalu membocorkan ke belakang aku membuka pantalon warna hitam yang aku kenakan. Sengaja aku membiarkan lampu kamar cottage itu menyala terang, agar aku bisa melihat detil dari setiap inci tubuh Eriana yang selama ini sering aku jelas fantasi seksualku. Aku masih berdiri sambil memandang tubuh Eriana yang tergolek di ranjang, menantang. Kulitnya yang putih membuat pandangan mata tidak terlihat. Perutnya begitu datar. Celana jeans ketat yang dipakai telihat terlalu longgar pada pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan lekuk pantat yang sempurna.
Puas memandangi tubuh Eksanti, lalu aku membaringkan tubuhku di sampingnya. Aku merapikan untaian rambut yang untuk menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Eksanti. aku menyayanginya. Aku mencium aku memasukkan air liurku ke sambil mulutnya. Eksanti menelannya. Tanganku turun ke bagian perut dan masuk melalui pinggang celana jeans-nya yang memang agak longgar. Jemariku bergerak dengan lincah dan membelai selangkangan Eksanti yang masih tertutup celana di dalamnya. Eriana menahan kami, ketika jari tengah menyentuh permukaan celana tepat di atas kewanitaannya. Ia telah basah.. Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk menggelitik bagian yang paling pribadi pada tubuh Eksanti.
Pinggul Eriana perlahan bergerak ke kiri.., ke kanan.. dan bergoyang untuk menetralisir pengalaman yang dialaminya. “Mas, nanti kita terlalu jauh, Mas..”, ujarnya sambil perlahan mengungkapkan sayu ke arahku. yang sayu ditambah dengan rangsangan yang tengah dialaminya, menambah bola mata. Sungguh, aku semakin bernasu melihatnya. Aku tersenyum lalu tersenyum, bahkan aku menyuruh Eriana untuk membuka celana jeans yang dipakainya. Tangan kanan Eriana berhenti pada permukaan kancing celananya. Ia terlihat ragu-ragu. Aku lalu berbisik ke telinganya, jika aku ingin memeluknya dalam keadaan seperti ini mimpiku. Eriana lalu membuka kancing dan menurunkan resliting celana jeans-nya.Celana dalam hitam yang dikenakannya begitu mini sehingga rambut-rambut pubis yang tumbuh di sekitar kewanitaannya hampir sebagian besar keluar dari pinggir celana di dalamnya. Aku membantu menarik turun celana jeans Eriana. Pinggulnya agak sedikit menarik celana jeans itu. Posisi kami kini sama-sama tinggal mengenakan celana dalam. Tubuhnya tampak seksi saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus akui tubuhnya begitu menarik dan penuh dengan daya tarik seks.
Eriana menarik untuk menutupi permukaan tubuhnya. Aku beringsut masuk ke dalam selimut lalu memeluk tubuh Eriana. Kami berpelukan. Aku menarik tangan kirinya untuk menyentuh kepala kejantananku. Dia terkejut ketika mendapatkan kejantananku yang tanpa penutup lagi. Memang, sebelum aku masuk ke dalam selimut, aku sempat melepaskan celana dalamku tanpa pengetahuan Eriana. Aku tersenyum nakal. “Occhh..”, Eriana kaget ketika menyentuh kejantananku yang telah tegak menegang. “Kenapa, Eriana?”, aku bertanya pura-pura tidak mengerti.
Eriana menarik untuk menutupi permukaan tubuhnya. Aku beringsut masuk ke dalam selimut lalu memeluk tubuh Eriana. Kami berpelukan. Aku menarik tangan kirinya untuk menyentuh kepala kejantananku. Dia terkejut ketika mendapatkan kejantananku yang tanpa penutup lagi. Memang, sebelum aku masuk ke dalam selimut, aku sempat melepaskan celana dalamku tanpa pengetahuan Eriana. Aku tersenyum nakal. “Occhh..”, Eriana kaget ketika menyentuh kejantananku yang telah tegak menegang. “Kenapa, Santi?”, aku bertanya pura-pura tidak mengerti.
Padahal aku tahu dia pasti terkejut karena merasakan keras dan kokohnya kejantananku saat ini. Eriana tersenyum malu. sentuhan kejantananku di tangan membuat Eriana merasa malu, tetapi hati kecilnya mau, ditambah sedikit rasa takut, mungkin. Kini, Eriana mulai berani mencoba dan menggenggam kejantananku. Belaiannya begitu mantap menandakan Eriana begitu piawai dalam urusan yang satu ini. “Tangan kamu semakin pintar yaa.., Riana”, ujarku sambil memandang yang mulai mengocok-ngocok lembut sekujur kejantananku. “Ya, mesti dong..,’kan Mas yang dulu ngajarin Riana!”, sambil cekikikan. Mendapat jawaban seperti itu, entah mengapa hasrat birahiku tiba-tiba menjadi pembohong.
Namun aku tetap berusaha bertahan untuk sementara waktu, sebelum aku merasakan ia benar-benar siap untuk berpaducinta denganku. Sambil meresapi kenikmatan usapan-usapan yang aku rasakan di sepanjang kulit batang kejantananku, jari-jemariku yang nakal mulai masuk dari celah celah celana dalam Eriana. Telapak langsung menyentuh bibir kewanitaannya yang sudah merekah basah. Jari telunjukku menunjukkan-belai sejumput daging kecil di dalam lepitan celahnya, sehingga Erianapun semakin merasakan nikmat. “Kamu mau dicium kejantananku nggak, Riana?”, tanya tanpa malu-malu lagi. Eriana tertawa sambil mencubit batang kejantananku. aku tersenyum. “Kalau punya Mas yang sekarang, sepertinya Riana nggak bisa?”, ujarnya.“Kenapa memangnya, apa bedanya punya Mas yang dulu dengan yang sekarang?”, penasaran. “Yang sekarang sepertinya tidak masuk ke mulutku, soalnya rasanya tambah besar dari yang dulu..”, selesai berkata demikian Eriana langsung tertawa kecil. “Kalau yang di bawah, bagaimana?”, bertanya lagi sambil menusukkan jari tengahku ke dalam lubang kewanitaannya.
Eriana merintih sambil menahan mata. Tetapi jariku sudah terlanjur tenggelam ke dalam liang senggamanya. Aku merasakan liang kewanitaannya berdenyut menjepit jariku. Oooch.., pasti nikmat sekali kalau saja kejantananku yang diurut, pikirku. Tiba-tiba, memandang tajam ke arahku, dengan muka yang agak berkerut masam. “Kenapa, Riana, ada apa ‘yang?”, saya bertanya sambil menarik kami dari liang kewanitaannya. Aku tahu dia marah, tapi apa sebabnya..? “Anak ini, kok aneh banget, jual mahal lagi”, pikirku. “..atau dia ingat Yudi, sehingga tiba-tiba ia merasa bersalah?” “..terus ngapain dia mau aku cumbu sejak kemarin?”, aku masih penasaran dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah.“Mas ‘kan sudah janji untuk tidak melakukannya, ‘kan?”, tiba-tiba Eriana berbicara. Aku terdiam.
“Aku tadinya tidak mau kita masuk ke kamar ini, karena aku takut kita tidak bisa menahan keinginan untuk melakukannya lagi, Mas”, memberikan pengarahan kepada saya. “Bagaimanapun juga khusus untuk yang satu ini, Riana tidak dapat memberikan buat Mas lagi. Bukan hanya Mas yang nggak tahan, aku juga nggak tahan.. Aku nggak munafik, Mas. Tapi.. kumohon, tolong.. Mas mau mengerti posisiku sekarang”, sambil berkata demikian Eriana mencium keningku. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat itu. Dalam posisi yang sudah sama-sama, kecuali Eriana yang masih mengenakan celana di dalamnya, berdua di dalam sebuah kamar di tepi laut yang romantis, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Tetapi kali ini demikian.
Bayanganku tentang kenikmatan saat bercinta dengan Eriana sirna sudah, atau setidaknya tidak dapat aku rasakan saat ini. Tapi sampai kapan? Aku jadi menciptakan untuk memaksanya saja melakukan persetubuhan, tetapi hal itu bertentangan dengan hati nuraniku. Akhirnya aku cuma bisa pasrah dan diam. Kejantananku yang tadi saya rasakan tegang, tiba-tiba menjadi lemas dalam genggaman tangan Eriana. Eriana meminta maaf kepada saya, menyadari kalau saya kecewa dengan pernyataannya. Aku merasa sudah tidak mungkin bisa untuk melanjutkan permainan cinta lagi.
Aku akhirnya meminta izin kepada Eriana untuk mandi. Sungguh,.. aku merasa kecewa sekali. Di dalam kamar mandi, aku lama terdiam. Aku ngaca di depan cermin. Kemudian aku guyur tubuhku dengan air yang mengalir deras dari pancuran di atas shower. Aku ingin suhu hangat. Tiba-tiba, aku merasakan ada orang lain yang memelukku dari arah belakang. aku terkejut, namun seketika setelah menyadari, ternyata Erianalah yang ada di belakangku. Dia tersenyum memandangku. “Ecchh.. kamu Riana, jangan deket-deket acchh.., aku kesel nih!!”, gumamku sambil mencoba membalasnya.
“Aku ingin mandi menggoda, Mas,.. boleh?”, pintanya manja. Aku tidak menjawab permintaannya. Aku langsung menarik tubuhnya untuk berhadapan denganku. Masih di bawah guyuran air yang mengalir dari shower, aku menangkap lengannya, dan memandang tajam ke arahnya. Berulang kali mencoba mengusap wajah cantik sensualnya dari guyuran air. Rambutnya yang basah semakin menambah keerotisan wajahnya. Dengan menangkap payudaranya dan mengusap, meremas kuat. Eriana. Bukannya melarang, Eriana malah mengambil sabun, dan mulai menyabuni tubuhku. Mula-mula dari dada, ke belakang punggung lalu menuju ke bawah, ke batang kejantananku.
Aku merasa aneh atas sikapnya yang berubah-ubah dan suka menggoda. Diusapnya lembut batang kejantananku yang sedikit demi sedikit mulai mengeraskan kembali. Tangannya yang penuh dengan busa sabun, begitu lembut mengocok batang kejantananku sehingga aku merasa sangat nikmat. Aku tidak tinggal diam, aku membalas menyabuni sekujur tubuh Eriana. Aku mengikuti setiap gerakan yang dibuatnya terhadap tubuhku lalu aku mempraktekkannya kepadanya. Aku tubuh Eriana, sehingga kini membelakangiku. Sengaja aku memposisikan tubuhnya berada di melihat bagian depanku, agar aku dapat di depan pada permukaan di melihat bagian bawah.
Aku ekspresi wajah Eriana pada permukaan melihat cermin. Mata kami beradu pandang, sambil mengungkapkan-belai payudaranya yang mulai mengeras. Aku mempermainkan puncak-puncak putingnya dengan jemariku, tangankan yang satunya dari bulu-bulu lebat di sekitar liang kewanitaan Eriana. Dengan sedikitkan tubuh, aku meraba permukaan kewanitaan Eriana. Jari tengahku mempermainkan klitorisnya yang mengeraskan terkena siraman air. Batang kejantananku yang kini sudah siap tempur, berada dalam genggaman tangan Eriana.
Sementara aku merasakan, celah kewanitaan Eriana juga mulai mengeluarkan cairan cinta yang melewati jemari kita yang kini sedang tersembunyi lorong di dalamnya. Aku tubuh Eriana kembali, sehingga kini berhadap-hadapan denganku. Aku memeluk tubuh Eriana sehingga batang kejantananku menyentuh pusarnya. Tanganku membelai punggungnya, lalu turun meraba bukit-bukit pantatnya yang indah. Eriana membalasku dengan memanfaatkan di pundakku. Kedua tangan meraih pantat Eriana. Aku meremas dengan sedikit kasar, lalu mengangkat sedikit ke atas, agar batang kejantananku berada tepat di depan gerbang kewanitaannya. Kaki Eriana kini tak lagi menyentuh permukaan lantai kamar mandi.
Kaki Eriana dengan sendirinya mengangkang ketika saya mengangkat pantatnya. Meski agak sulit namun saya tetap berusaha agar batang kejantananku bisa merasakan jepitan kewanitaan Eriana. Aku merasakan kepala kejantananku sudah menyentuh bibir kewanitaan Eriana. Aku menekan perlahan, seiring dengan menarik buah di pantatnya ke arah tubuhku. Eriana menggeliat. Saya merasa kesulitan untuk memasukkan batang kejantananku ke dalam liang kewanitaan Eriana, karena kejantananku yang terus-terusan basah terkena air shower. Akhirnya, aku mengangkat tubuh Eriana ke luar dari kamar mandi.juga aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, hanya apalagi terbukti sebelumnya, Eriana diam saja ketika aku berusaha menyusupkan batang kejantananku ke liang senggamanya. Pada saat aku membawanya menuju tempat tidur,
Aku membaringkan tubuhnya di atas kasur. Lalu, denhan hati-hati saya menyusul menimpa ke atas. Kami tidak mempedulikan butiran-butiran udara yang masih menempel di sekujur tubuh kami, sehingga permukaan kasur. Aku menciumi lagi lehernya yang jenjang lalu turun melumat puting payudaranya. Telapak kami terus membelai dan meremasi setiap lekukan dan tonjolan tubuh Eriana. Aku kembali melebarkan kedua pahanya, sambil mengarahkan batang kejantananku ke bibir kewanitaan Eriana. Eriana mengerang pelan. matanya perlahan terpejam. Giginya menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju birahinya yang semakin kuat. Aku mengungkapkan mata Eriana penuh hasrat nafsu, memohon untuk segera mendekatinya.
“Aku ingin bercinta denganmu, Riana”, bisikku pelan, sementara kepala kejantananku masih menempel di belahan liang kewanitaan Eriana. Kata-kataku yang terakhir ini ternyata membuat wajah Eriana memerah. Mungkin, ketika bersama Yudi, dia jarang mendengar permintaan yang terlalu to the point begitu. Aku bisa memastikan, Eriana agak malu. Aku sewaktu-waktu untuk menunggu jawaban dariku kepadanya, karena bagaimana pun aku tidak mau melakukan persetubuhan tanpa persetujuan darinya. Aku bukan tipe laki-laki yang demikian. Bagiku berpaducinta adalah kesepakatan, berdasarkan kesadaran tanpa adanya unsur pemaksaan. Eriana melihat lalu mengangguk sebelum membuka matanya. Bukan main rasa senangnya hatiku.
Akhirnya.. “..yes!”. Aku akan memperlakukannya dengan hati-hati sekali, begitu yang ada dalam fikiranku. Kini aku berkonsentrasi penuh dengan menuntun batang kejantananku yang perlahan mulai menyusup melesak ke dalam liang kewanitaan Eriana. Mula-mula terasa seret memang, namun aku malah semakin menyukainya. Perlahan namun pasti, kepala kejantananku memuji liang kewanitaannya yang ternyata begitu menjepit batang kejantananku. Dinding dalam kewanitaan Eriana ternyata begitu licin, sehingga agak memudahkan kejantananku untuk menyusup lebih ke dalam lagi. Eriana memeluk erat sambil membenamkan kuku-kukunya di punggungku, hingga agak terputus. Namun aku tak peduli. “Mas, gede banget, occhh..”, Eriana berteriak pelan. Tangannya turun menangkap batang kejantananku. “Pelan=pelan maas..”, ujarnya kali, padahal aku merasa sudah melakukannya dengan pelan dan hati-hati. Mungkin karena lubang kewanitaannya tidak pernah dimasukkan lagi ke dalam batang seperti milikku ini. Soalnya aku tahu pasti ukuran kejantanan Yudi, pacar Eriana.
agak merasa nyaman. Akhirnya batang kejantananku terbenam juga di dalam kewanitaan Eriana. Aku berhenti menikmati untuk menikmati denyutan-denyutan yang timbul akibat kontraksi otot-otot dinding kewanitaan Eriana. Denyutan itu begitu kuat, sampai-sampai aku memejamkan mata untuk merasakan kenikmatan yang begitu sempurna. Aku melumat bibir Eriana sambil perlahan-lahan menarik batang kejantananku,.. untuk selanjutnya aku benamkan lagi, masuk.., keluar.., masuk.., keluar.. Aku meminta Eriana untuk membuka kelopak mata. Eriana menurut. Saya sangat senang melihat matanya yang semakin mengatakan Anda menikmati batang kejantananku yang keluar masuk di dalam kewanitaannya.
“Aku suka kewanitaanmu, Riana, kewanitaanmu masih tetap rapet, ‘yang”, ujarku sambil merintih keenakan. Sungguh, liang kewanitaan Eriana masih terasa enak sekali. “Icchh.. Mas ngomongnya sekarang vulgar banget”, balasnya sambil tersipu malu, lalu ia mencubit pinggangku. “Tapi enak ‘kan, ‘yang?”, bertanya, yang dijawab Eriana dengan sebuah anggukan kecil. Aku meminta Eriana untuk menggoyangkan pinggulnya. Eriana langsung gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada pinggangnya. “Suka batang kejantananku, Riana?”, tanya lagi. Eriana hanya tersenyum.
Batang kejantananku terasa seperti diremas-remas. Masih ditambah lagi dengan jepitan liang senggamanya yang sepertinya punya kekuatan magis untuk menyedot meluluh lantakkan otot-otot kejantananku. “Makin pintar saja dia menggoyang”, batinku dalam hati. “Occhh..”, teriakku panjang. Rasanya begitu nikmat. Aku mencoba mengangkat dadaku, membuat jarak dengan bertumpu pada kedua tanganku. Dengan demikian aku semakin bebas dan bebas untuk mengeluar-masukkan batang kejantananku ke dalam liang senggama Eriana. Aku memperhatikan dengan hati-hati kejantananku yang keluar dengan lincah di sana. Dengan posisi seperti ini aku merasa begitu jantan. Eriana memperbesar kedua pahanya, sambil membantu erat di pinggangku.
Gerakan naik turunku semakin cepat goyangan pinggul Eriana yang semakin tidak terkendali. “Riana.. enak banget, ‘yang, kamu makin pintar, ‘yang..”, ucapku merasa tertarikakan. “Kamu juga, Mas.., Riana juga enakk..”, agak malu-malu. Eriana merintih dan mengeluarkan erangan-erangan kenikmatannya. Berulang kalih mengeluarkan kata-kata, “aduh..occh..”, yang diucapkan terputus-putus. Aku liang senggama Eriana semakin berdenyut sebagai pertanda Eriana akan mencapai puncak pendakiannya. Aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Namun aku mencoba bertahan dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan pelan-pelan, untuk menurunkan daya rangsangan yang aku alami. Aku tidak ingin segera menyudahi permainan ini dengan tergesa-gesa.
Aku mempercepat goyanganku ketika aku menyadari Eriana hampir mencapai orgasmenya. Aku meremas payudaranya kuat-kuat, seraya mulutku menempel dan menggigiti puting susu Eriana. Aku masuk dalam-dalam. “Occhh.. Mas..”, jerit Eriana panjang. Aku membenamkan batang kejantananku kuat-kuat ke liang senggamanya hingga mencapai dasar rongga yang terdalam. Eriana mendapatkan kenikmatan yang sempurna. Tubuhnya indah untuk beberapa saat tubuhnya mengejang. Kepalaku ditarik kuat-kuat hingga terbenam di antara dua bukit payudaranya. Pada saat menghentak-hentak, ternyata saya merasa tidak tahan lagi untuk bertahan lebih lama. “Riiannna.. aakuu.. mau keluaarr.. saayang.. occhh.. hh..”, jeritku.Aku ingin menarik keluar batang kejantananku dari dalam liang senggamanya. Namun Eriana masih ingin merasakan orgasmenya, sehingga tubuhku serasa terkunci oleh kakinya yang tegak di pinggangku. Saat itu juga saya merasa hampir saja memuntahkan cairan hangat dari ujung kejantananku yang hampir meledak. Aku merasakan seolah-olah layang-layang putus yang melayang terbang, tidak berbobot. Aku tidak perlu menarik keluar batang kejantananku lagi, karena secara spontan Eriana juga menarik pantatku kuat untuk tubuhnya, berulang kali.
Mulutku yang berada di belahan dada Eriana memasang kuat kulit putihnya, sehingga meninggalkan bekas disana. Telapak tangan mencengkram buah dada Eriana. Saya meraup semuanya, sampai-sampai Eriana merasa agak senang. Aku tak peduli lagi. Hingga akhirnya.. plash.. plash.. plash.. (8X), spermaku akhirnya muncrat menyiram lubang sorganya. Aku merasakan nikmat yang tiada duanya ditambah dengan goyangan pinggul Eriana pada saat aku mengalami orgasme. Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya di atas tubuh Eriana. Batang kejantananku masih berada dalam kenikmatan Eriana.
Eriana mengusap-usap permukaan punggungku. “Kamu menyesal, Riana?”, ujarku sambil mencium pipinya. Eriana sambil pelanpelan membocorkan rambutku. Aku tersenyum kepadanya. Eriana membalas. Aku meyandarkan penjagaan di belakang. om Jam telah menunjukkan pukul 21:00 dan aku harus cepat pulang ke rumah, karena tadi aku tidak sempat membuat alasan untuk pulang terlambat. Begitu pula dengan Eriana, yang saat itu telah memiliki kebiasan baru selayaknya calon pasangan suami istri, yaitu makan malam bersama Yudi di rumah kost mereka. Sebelum berpisah, kami berciuman untuk beberapa saat.Itu adalah ciuman kami yang terakhir.., percintaan kami yang terakhir.., sebelum akhirnya Yudi menikahi Eriana, 2 bulan kemudian.